Lagi, aku dibuat malu

Awal minggu ini aku dikejutkan oleh seorang temanku yang minta disimakin alquran. ‘Tapi aku malu, baru awal awal ini’ katanya. Bukan masalah, jawavku. ‘Aku ngerasa kesibukkan ku sekarang itu duniawi banget, kapan akhiratnya?’ Dia curhat. Aku juga merasa begitu, jawabku. ‘Kan mati ngga ada yang tau’ kalimat nya ini sukses bikin aku tertohok. Dia bukan anak pesantren, tapi dia lebih soleh dariku. Status wa nya mayoritas konten dakwah, diselingi beberapa kenarsisan khas perempuan sih. Tetap saja, dia membuat aku malu.

Kalau dipikir, aku merasa selama ini aku sudah menjadi idealis. Bikin target tahunan, bikin rundown hidup, rules of life, cita-cita, di dinding kosan sudah ada. Setiap kali aku membuat yang semacam itu, selalu kebayang hidup ku kayak orang orang sukses, soleh, superproduktif. Target ku juga sudah realistis semua. Hanya sampai sekarang diriku saja yang bikin itu makin mustahil. Malas, mager, dan ga bisa lawan hawa nafsu. Musuh abadi manusia itu.

Temanku si solehah ini, yang tiba tiba minta setoran ini, menyadarkan ku pada kenyataan kalau aku nggak pernah sekalipun punya target untuk nambah hafalan. Selama ini cuma murojaah dan tilawah yang aku urusin. Dengan alasan aku pelupa, susah ngafalin, atau takut hafalan ilang. Alasan itu juga yang bikin aku nggak tuntas menghafal 6 tahun di pesantren. Ketakutanku punya hafalan 30 juz yang harus dijaga justru bikin aku nggak pernah-atau mungkin dan semoga saja belum-nyampe 30 juz. Rasanya aku mau salamin teman teman ku yang sudah tuntas. Yang selalu bilang sekarang aja banyakin, nanti tinggal murojaah. Aku mau bilang pada mereka kalau mereka benar, aku salah. Aku mau bilang pada mereka, semangati aku lagi sampai aku jadi hafizoh yang sebenarnya.

‘Kasih tips dong buat ngehafal, jelasin gimana caranya’ dia memohon. Padahal aku pengen banget merendahkan diri di depan orang hebat satu ini. Aku jelaskan sedikit padanya bagaimana aku menghafal dulu. Pakai mushaf jangan hape, dibaca belasan kali sama arti, patokan nya perhalaman. Biasanya aku setengah halaman sehari. ‘Setengah? Aku cuma seayat ini…’ dia bilang. Aku tanya maksudnya akhir akhir ini? Iya katanya. Aku senyum sedih kayak orang disakiti. Kalau dia tau aku belum nambah 1 ayat pun sejak libur sbm, dia bakal bilang apa? Ya sudah, akhirnya aku semangati saja dia.

Kami setoran di gazebo. Di ruang publik. Aneh rasanya kalau begini, mungkin lebih nyaman di masjid kalau sudah agamis begini. Tapi aku mikir lha, bukan nya dulu di pesantren kamu setoran di mana saja? Santuy. Apa salahnya memesantrenkan publik. Selesai setor, dia catat ayatnya di wa. ‘Setoran depan lanjutin ayat nya kan?’ Tanya dia. Wah, aku maunya kamu ulang dari ayat 1 loh ya, kataku. Dia tertawa nervous tapi ngakak. Aku lanjut, iya kalau sudah 5 halaman baru setor dari halaman ke 6. Ya sudah, dia nurut saja. Tersenyum, aku pastikan malam ini aku mulai menghafal. Nanti, di kosan.

Published by

potatoninatte

A student at brawijaya university. Having 5 siblings is tough, don't let me start with their academics. I wish i could travel around the world, Go to mekkah with my ummi and bapa. I write what necessary for me, and maybe for people who feels the same.

Leave a comment